Pak Moyan punya tiga orang anak laki-laki: Pindi, Pini dan Pisi yang ketiganya memiliki sifat yang bikin orang tuanya stress setiap hari. Pindi sifatnya pemalas, Pini pembohong dan Pisi terlalu lugu sekaligus tuli.
Kebetulan Pak Moyan memilikitoko kecil. Untuk menjaga toko tersebut Pak Moyan memberi tugas kepada ketiga anaknya secara bergiliran. Sedangkan Pak Moyan dan istrinya sibuk menerima pesanan kue, sebab kebetulan keduanya pintar bikin kue. Tapi nyatanya mereka selalu rugi.
"Aku heran..." kata Pak Moyan suatu hari "kita ini punya toko dan punya usaha bikin kue. Tapi kok kayaknya nggak pernah untung?"
"Saya sendiri juga heran, Mas..." sahut Bu Moy, sebutan untuk istrinya Pak Moyan "jangan-jangan keuntungan kita dicuri tuyul."
Mendengar istrinya berkata begitu, tiba-tiba Pak Moyan melompat dan bersembunyi di bawah meja dengan wajah pucat pasi, ketakutan.
"Kamu, kenapa Mas?" Bu Moy heran.
"Kamu jangan ngomong soal tuyul, dong! Aku kan jadi merinding?" sahut Pak Moyan "janji, jangan ngomong tuyul, ya?"
"Iya, saya janji" kata Bu Moy sambil mengangkat tangan kanan seperti pramuka yang mengucapkan sumpah setia.
"Begini saja, Bu..." kata Pak Moyan sambil merangkak keluar dari kolong meja "kita pura-pura pergi keluar kota, lalu kita berdua menyamar jadi orang lain untuk menyelidiki perilaku anak-anak kita. Siapa tahu mereka yang menyebabkan kita rugi selama ini."
"Saya setuju banget, Mas..." kata Bu Moy "kebetulan saya memang sudah lama curiga pada ketiga anak-anak kita itu."
Keesokan harinya Pak Moyan dan istrinya berpamit pada ketiga anaknya untuk keluar kota, padahal mereka sengaja menginap di rumah tetangga.
Malam harinya Pak Moyan dan istrinya pergi ke toko miliknya dengan menyamar. Pak Moyan mengenakan topi lebar dan kumis palsu sambil mengulum bola bekel di mulutnya, supaya suaranya sulit dikenali saat berbicara. Sedangkan Bu Moy mengenakan gaun sari seperti wanita India dengan gelang di hidung.
Ketika mereka memasuki toko, kebetulan yang giliran menjaga adalah Si Pindi. Tampak Pindi sedang duduk santai sambil membaca komik.
"Halo, saya turis" kata Pak Moyan dan istrinya.
"Halo juga" sahut Pindi tanpa menengok "mau beli apa?"
"Saya mau beli minyak rambut, bedak dan sendal jepit"
"Silahkan ambil sendiri dan uangnya taruh saja di meja" sahut Pindi.
"Harganya berapa?"
"Terserah" sahut Pindi dengan acuh sambil terus membaca komik.
Setelah meninggalkan toko, Pak Moyan berkata kepada istrinya "huh, pantas saja kita rugi. Si Pindi itu pemalas sekali. Dia tidak mau melayani dan juga tidak mau perduli soal harga."
"Pindi itu memang keterlaluan" Bu Moy ngomel "pantas kabarnya ada tetangga kita yang bilang bahwa harga di toko kita murah sekali, soalnya dia katanya pernah membeli beras setengah karung cuma membayar Rp. 5000.-"
Keesokkan harinya kembali Pak Moyan dan istrinya pergi ke toko miliknya, dan giliran yang menjaga toko adalah Si Pini.
"Mau beli apa?" Pini langsung mendatangi.
"Kami mau beli sembako" kata Bu Moy "apakah ini tokonya Pak Moyan?"
"Bukan. Ini toko milik saya" sahut Pini "Pak Moyan itu pelayan saya.
"Oo.. begitu" Bu Moy mengangguk-ngangguk, sementara Pak Moyan ingin sekali memukul hidung anaknya itu karena mengatakan dia adalah pelayannya.
"Apakah kalau saya membeli banyak, akan dapat potongan harga?"
"Bukan hanya potongan harga, tapi juga berhadiah" sahut Pini bersemangat "di toko saya ini kalau beli satu sabun mandi dapat hadiah sebuah TV. Kalau beli satu botol minyak angin dapat hadiah kulkas!"
"Wow bukan main..." Bu Moy berdecak pura-pura kagum walaupun ingin sekali dia menarik mulut anaknya yang pembohong itu "kalau saya beli peniti, hadiahnya apa?"
"Hadiahnya ikut tour ke Bali. Tapi ngumpulnya di Denpasar" kata Pini "tapi semua hadiahnya baru diantar lima tahun kemudian."
Setelah membeli sembako secukupnya, Pak Moyan dan istrinya meninggalkan toko tersebut dengan hati yang geram.
Keesokkan harinya Pak Moyan dan istrinya bersiap-siap untuk berbelanja lagi, dan mereka pasti akan bertemu Pisi.
"Nanti kita akan bertemu Pisi, Mas" kata Bu Moy "aku yakin anak kita Si Pisi ini lebih baik dari pada Si Pindi dan Si Pini, soalnya Pisi adalah anak yang lugu."
"Lugu apanya?" Pak Moyan menggerutu "masa mentang-mentang lugu, pernah digigit anjing diam saja?"
Dan memang benar, ketika mereka tiba di toko, tampak Pisi yang menjaga.
"Permisiiii, kami mau beliiii...." kata Pak Moyan.
"Apa?" Pisi bertanya.
"Saya dan istri saya mau beli."
"Kapan?"
"Kok kapan?" Pak Moyan jengkel "kami datang ke sini mau beliiiiii....!!"
"Banyak nyamuk?"
"Begitulah kalau anak lugu, Mas" Bu Moy berbisik pada suaminya.
"Itu bukan lugu, tapi kupingnya budek!" Pak Moyan marah-marah "pantas saja kita rugi. Punya anak laki-laki tiga orang, tapi tiga-tiganya nggak ada yang beres."
Sejak saat itu Pak Moyan tidak lagi mempercayakan tokonya kepada ketiga anaknya, tetapi dia dan istrinya sendiri yang mengurusnya. Sedangkan ketiga anaknya diberi tugas membuat dan menjual kue untuk biaya hidup mereka sehari-hari. Kalau kuenya tidak enak dan tidak laku, berarti mereka sendiri yang rugi. Hanya cara itu yang membuat Pindi, Pini dan Pisi bisa menghargai jerih payah kedua orang tuanya. ***
Kumpulan cerita menarik yang diambil dari majalah AMI, bisa dijadikan dongeng sebelum tidur, cerita santai, dll
Friday, October 29, 2010
Saturday, October 2, 2010
HAUS + KIKIR = JATUH
Pak Pel-Lit adalah orang yang sangat kikir. Suatu hari saat dia berjalan-jalan, dia merasa haus. Tapi dia tidak mau membeli minuman meskipun dia membawa uang yang cukup banyak. Maklum, dia adalah orang kaya.
Tapi panas matahari yang sangat terik membuat rasa hausnya tak tertahankan lagi. Akhirnya dia pergi mendekati penjual kelapa muda.
"Kelapa mudanya berapa harganya satu buah?" Pak Pel-Lit bertanya. "Rp. 5000, langsung dikupas, dimakan dan diminum airnya disini" jawab si penjual kelapa.
"Mahal sekali" Pak Pel-Lit bersungut-sungut "Rp. 200 saja, ya?"
"Berapa?" si penjual kelapa seakan tidak percaya.
"Boleh, tapi kulitnya saja."
"Menghina!" Pak Pel-Lit marah-marah "memangnya saya pemain kuda lumping disuruh makan kulit kelapa?"
"Memangnya saya jualan kelapa ini nggak pakai modal?" si penjual kelapa ikutan marah-marah "mana ada kelapa muda harganya Rp. 200?"
Sambil terus bersungut-sungut akhirnya Pak Pel-Lit meneruskan perjalanannya dengan menahan rasa haus. Tak lama kemudian dilihatnya seorang penjual buah semangka yang segar. Yang membuat Pak Pel-Lit tertarik, di situ ada tulisan "Gratis".
"Wah, ini baru kejutan" kata Pak Pel-Lit, dalam hati "orang ini pasti hatinya sangat mulia, soalnya semangka dagangannya boleh dimiliki orang lain secara gratis alias tidak perlu membayar."
"Semangkanya segar-segar, ya?" Pak Pel-Lit menyapa.
"O, iya. Ini buah semangka pilihan, Tuan" si penjual semangka tersenyum ramah "semangka ini didatangkan dari India, benihnya dibeli di Korea, menanamnya di Jepang, setelah dipetik lalu didinginkan di Tibet, dekat gunung Himalaya, kemudian dikemas di Belanda, terus dikirim ke sini."
"Ooo... begitu" Pak Pel-Lit mengangguk-angguk kagum.
"Silahkan pilih sendiri yang Tuan suka" penjual semangka itu berkata dengan ramah "Tuan boleh membawa berapa saja."
"Oh, saya terharu."
"Memang semua orang yang melihat semangka ini akan terharu, soalnya buah-buah ini sudah menempuh perjalanan sangat jauh."
"Saya bukan terharu karena perjalanan buah-buah ini" kata Pak Pel-Lit "tapi saya terharu karena buah-buah ini gratis."
"Memang gratis, Tuan."
"Jadi saya boleh mengambil berapa saja tanpa membayar?"
"Bukan begitu" sahut si penjual semangka "maksudnya gratis kalau hanya melihat-lihat dan memegang. Tapi kalau mau dibawa ya harus bayar. Tapi harganya murah, kok. Cuma Rp. 30000 sebuah."
"Rp. 30000?" Pak Pel-Lit terperanjat.
"Tapi ini semangka super."
"Super sih super. Tapi masak harganya satu buah Rp. 30.000?" Pak Pel-Lit ngomel "uang Rp. 30.000 itu kalau dibelikan kerupuk bisa dapat banyak."
"Ya sudah, khusus untuk Tuan saya jual murah. Cukup Rp. 29.900 saja."
"Enggak" Pak Pel-Lit menolak.
"Rp. 29.850 saja-lah! Kan murah?"
"Enggak"
"Rp. 29.800 ditambah bonus stiker."
"Enggak"
Si pedagang semangka itu akhirnya marah-marah karena Pak Pel-Lit terus pergi meneruskan dagangannya. Sementara itu hari semakin panas dan Pak Pel-Lit semakin kehausan. Akhirnya Pak Pel-Lit tidak sanggup berjalan lagi dan berteduh dibawah pohon rindang untuk melepaskan lelah.
Sambil duduk, Pak Pel-Lit mengeluarkan dompetnya yg tebal dan memeriksa isinya yg penuh sesak dengan lembaran ratus ribu rupiah.
"Hmm... uang ini sangat berarti bagiku" kata Pak Pel-Lit dalam hati "sayang kalau uang ini berkurang hanya untuk beli kelapa muda atau semangka."
Teng! Teng! Teng! Terdengar suara bel tukang penjual es pikulan.
Seorang penjual es tampak memikul dagangan es sirup, lalu ikut berteduh dibawah pohon rindang itu, persis di dekat Pak Pel-Lit.
Pak Pel-Lit menelan air liur saat mencium bau aroma es sirup yang segar itu.
"Es sirupnya segelas berapa, Bang?" Pak Pel-Lit bertanya.
"Rp. 500, Tuan. Mau beli segelas?"
"Enggak. Cuma tanya saja."
Es sirup begitu saja Rp. 500 segelas" kata Pak Pel-Lit dalam hati "lebih baik di rumah nanti aku membuat sendiri. Gratis lagi."
Karena merasa tergoda oleh bau aroma es sirup itu, maka Pak Pel-Lit kembali meneruskan perjalannya. Kali ini dia langsung menuju arah ke rumahnya. Supaya bisa sampai di rumah lebih dekat dan tidak perlu membayar ongkos kendaraan, Pak Pel-Lit sengaja memotong jalan terdekat lewat sebidang kebun kelapa.
Ketika Pak Pel-Lit melihat-lihat buah-buah kelapa muda di atas pohon, rasa hausnya timbul kembali.
"Tuan ingin kelapa muda?" tiba-tiba seorang laki-laki tua menyapa "kalau Tuan suka, silahkan mengambil sendiri. Gratis."
"Gratis?" Pak Pel-Lit tertarik.
"Iya. Gratis. Soalnya kebun kelapa ini milik saya." sahut orang tua itu.
Setelah mengucapkan terima kasih, Pak Pel-Lit mulai mencoba memanjat pohon kelapa. Sebenarnya dia tidak bisa memanjat. Tapi demi menghilangkan rasa haus tanpa membayar, dia terus berusaha memanjat. Sedikit demi sedikit, seperti anak kucing ikut lomba panjat pinang.
Tapi setelah mencapai ketinggian hampir setengah batang, kedua lutut Pak Pel-Lit mulai gemetar. Apalagi persis di atasnyadia melihat seekor tokek yang kepalanya menghadap ke arahnya sambil melotot.
"Hus, pergi! Pergi!" Pak Pel-Lit mengusir tokek itu. Tapi karena si tokek tidak mengerti bahasa manusia, maka binatang itu merasa tersinggung karena merasa ditantang. Tokek itu melompat ke arah Pak Pel-Lit. Pak Pel-Lit kaget dan jatuh.
Di rumah sakit, Pak Pel-Lit harus mengeluarkan biaya Rp. 5000.000 untuk biaya pengobatan, hanya karena tidak rela membayar Rp. 500 untuk segelas es sirup. ***
Tapi panas matahari yang sangat terik membuat rasa hausnya tak tertahankan lagi. Akhirnya dia pergi mendekati penjual kelapa muda.
"Kelapa mudanya berapa harganya satu buah?" Pak Pel-Lit bertanya. "Rp. 5000, langsung dikupas, dimakan dan diminum airnya disini" jawab si penjual kelapa.
"Mahal sekali" Pak Pel-Lit bersungut-sungut "Rp. 200 saja, ya?"
"Berapa?" si penjual kelapa seakan tidak percaya.
"Boleh, tapi kulitnya saja."
"Menghina!" Pak Pel-Lit marah-marah "memangnya saya pemain kuda lumping disuruh makan kulit kelapa?"
"Memangnya saya jualan kelapa ini nggak pakai modal?" si penjual kelapa ikutan marah-marah "mana ada kelapa muda harganya Rp. 200?"
Sambil terus bersungut-sungut akhirnya Pak Pel-Lit meneruskan perjalanannya dengan menahan rasa haus. Tak lama kemudian dilihatnya seorang penjual buah semangka yang segar. Yang membuat Pak Pel-Lit tertarik, di situ ada tulisan "Gratis".
"Wah, ini baru kejutan" kata Pak Pel-Lit, dalam hati "orang ini pasti hatinya sangat mulia, soalnya semangka dagangannya boleh dimiliki orang lain secara gratis alias tidak perlu membayar."
"Semangkanya segar-segar, ya?" Pak Pel-Lit menyapa.
"O, iya. Ini buah semangka pilihan, Tuan" si penjual semangka tersenyum ramah "semangka ini didatangkan dari India, benihnya dibeli di Korea, menanamnya di Jepang, setelah dipetik lalu didinginkan di Tibet, dekat gunung Himalaya, kemudian dikemas di Belanda, terus dikirim ke sini."
"Ooo... begitu" Pak Pel-Lit mengangguk-angguk kagum.
"Silahkan pilih sendiri yang Tuan suka" penjual semangka itu berkata dengan ramah "Tuan boleh membawa berapa saja."
"Oh, saya terharu."
"Memang semua orang yang melihat semangka ini akan terharu, soalnya buah-buah ini sudah menempuh perjalanan sangat jauh."
"Saya bukan terharu karena perjalanan buah-buah ini" kata Pak Pel-Lit "tapi saya terharu karena buah-buah ini gratis."
"Memang gratis, Tuan."
"Jadi saya boleh mengambil berapa saja tanpa membayar?"
"Bukan begitu" sahut si penjual semangka "maksudnya gratis kalau hanya melihat-lihat dan memegang. Tapi kalau mau dibawa ya harus bayar. Tapi harganya murah, kok. Cuma Rp. 30000 sebuah."
"Rp. 30000?" Pak Pel-Lit terperanjat.
"Tapi ini semangka super."
"Super sih super. Tapi masak harganya satu buah Rp. 30.000?" Pak Pel-Lit ngomel "uang Rp. 30.000 itu kalau dibelikan kerupuk bisa dapat banyak."
"Ya sudah, khusus untuk Tuan saya jual murah. Cukup Rp. 29.900 saja."
"Enggak" Pak Pel-Lit menolak.
"Rp. 29.850 saja-lah! Kan murah?"
"Enggak"
"Rp. 29.800 ditambah bonus stiker."
"Enggak"
Si pedagang semangka itu akhirnya marah-marah karena Pak Pel-Lit terus pergi meneruskan dagangannya. Sementara itu hari semakin panas dan Pak Pel-Lit semakin kehausan. Akhirnya Pak Pel-Lit tidak sanggup berjalan lagi dan berteduh dibawah pohon rindang untuk melepaskan lelah.
Sambil duduk, Pak Pel-Lit mengeluarkan dompetnya yg tebal dan memeriksa isinya yg penuh sesak dengan lembaran ratus ribu rupiah.
"Hmm... uang ini sangat berarti bagiku" kata Pak Pel-Lit dalam hati "sayang kalau uang ini berkurang hanya untuk beli kelapa muda atau semangka."
Teng! Teng! Teng! Terdengar suara bel tukang penjual es pikulan.
Seorang penjual es tampak memikul dagangan es sirup, lalu ikut berteduh dibawah pohon rindang itu, persis di dekat Pak Pel-Lit.
Pak Pel-Lit menelan air liur saat mencium bau aroma es sirup yang segar itu.
"Es sirupnya segelas berapa, Bang?" Pak Pel-Lit bertanya.
"Rp. 500, Tuan. Mau beli segelas?"
"Enggak. Cuma tanya saja."
Es sirup begitu saja Rp. 500 segelas" kata Pak Pel-Lit dalam hati "lebih baik di rumah nanti aku membuat sendiri. Gratis lagi."
Karena merasa tergoda oleh bau aroma es sirup itu, maka Pak Pel-Lit kembali meneruskan perjalannya. Kali ini dia langsung menuju arah ke rumahnya. Supaya bisa sampai di rumah lebih dekat dan tidak perlu membayar ongkos kendaraan, Pak Pel-Lit sengaja memotong jalan terdekat lewat sebidang kebun kelapa.
Ketika Pak Pel-Lit melihat-lihat buah-buah kelapa muda di atas pohon, rasa hausnya timbul kembali.
"Tuan ingin kelapa muda?" tiba-tiba seorang laki-laki tua menyapa "kalau Tuan suka, silahkan mengambil sendiri. Gratis."
"Gratis?" Pak Pel-Lit tertarik.
"Iya. Gratis. Soalnya kebun kelapa ini milik saya." sahut orang tua itu.
Setelah mengucapkan terima kasih, Pak Pel-Lit mulai mencoba memanjat pohon kelapa. Sebenarnya dia tidak bisa memanjat. Tapi demi menghilangkan rasa haus tanpa membayar, dia terus berusaha memanjat. Sedikit demi sedikit, seperti anak kucing ikut lomba panjat pinang.
Tapi setelah mencapai ketinggian hampir setengah batang, kedua lutut Pak Pel-Lit mulai gemetar. Apalagi persis di atasnyadia melihat seekor tokek yang kepalanya menghadap ke arahnya sambil melotot.
"Hus, pergi! Pergi!" Pak Pel-Lit mengusir tokek itu. Tapi karena si tokek tidak mengerti bahasa manusia, maka binatang itu merasa tersinggung karena merasa ditantang. Tokek itu melompat ke arah Pak Pel-Lit. Pak Pel-Lit kaget dan jatuh.
Di rumah sakit, Pak Pel-Lit harus mengeluarkan biaya Rp. 5000.000 untuk biaya pengobatan, hanya karena tidak rela membayar Rp. 500 untuk segelas es sirup. ***
Subscribe to:
Posts (Atom)